
Ekspresionline.com–Dalam politik kampus, posisi strategis seperti BEM, DPM, Hima selalu menjadi incaran setiap organisasi ekstra untuk menyebarkan pengaruhnya. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) adalah salah satu organisasi ekstra yang masih mendominasi politik kampus dewasa ini. Rosyid, ketua KAMMI 2019-2020 mengklaim sejak 2002 ketua BEM universitas selalu diduduki oleh KAMMI.
Akan tetapi, bukannya tidak ada kontestasi antarorganisasi ekstra di politik kampus. Persaingan tetap ada antara organisasi ekstra. Pemilwa tahun 2018, pasangan Agung-Jodi dari KAMMI mendapatkan lawan dari pasangan Auvry-Rais yang disokong oleh Himpunan Mahasiswa Islam-Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Sedangkan pada 2019 yang baru saja usai, pasangan Bayu-Rofidah dari KAMMI memiliki lawan dari Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yaitu Lutfan-Khairunnisak.
Sedangkan di tingkatan fakultas kontestasi politik lebih dinamis. Posisi seperti Ketua BEM, DPM, dan Hima tidak selalu diduduki KAMMI. Mahasiswa dari organisasi ekstra selain KAMMI kerap berhasil menguasai fakultas. Meskipun KAMMI di fakultas masih mendominasi, seperti tahun lalu, hanya dua fakultas yang ketua BEM-nya tidak diduduki oleh KAMMI.
Menurut Viki Adi Nugroho, ketua KAMMI UNY 2016-2018, kini sedang menjabat ketua KAMMI Sleman, kunci keberhasilan KAMMI dalam kontestasi politik kampus adalah para kader yang solid dan mampu bekerja sama di setiap perhelatan pemilwa. “Kuncinya sebenarnya ada pada kesolidan kader. Jika ada kader [KAMMI] ‘A’ yang mencalonkan sebagai ketua BEM, ya kita semuanya milih ‘A’. Baik dari tingkat universitas, fakultas, jurusan, sampai ke kelas-kelas,” jelas Viki.
Ditambah, kader KAMMI memang sudah banyak tersebar di berbagai organisasi intrakampus. Berdasarkan keterangan Lina, ketua PSDM KAMMI UNY saat ini, kader KAMMI yang berada di organisasi intra mencapai empat ratusan mahasiswa. Sedangkan kader secara keseluruhan di UNY menembus jumlah sampai ribuan. Dengan jumlah demikian, menurut Viki, menjadi wajar ketika KAMMI selalu sukses dalam kontestasi politik kampus.
Organisasi ekstra lainnya tidak memiliki jumlah kader yang sebanyak KAMMI. Ditambah tidak banyak pula kader organisasi ekstra lainnya yang menempati posisi-posisi strategis di organisasi intra. PMII secara kader keseluruhan memang mencapai seratus lebih jumlahnya. Tetapi yang menjadi pengurus di organisasi intra seperti BEM, DPM, dan Hima hanya ada tujuh mahasiswa.
Sedangkan HMI Dipo yang memiliki kader berjumlah empat puluh mahasiswa, hanya tujuh mahasiswa yang menjadi pengurus di BEM, DPM, dan Hima, tidak berbeda dengan PMII. Kondisi HMI-MPO pun tidak jauh berbeda dengan Dipo dan PMII. Dari tiga puluh kader HMI-MPO, hanya sepuluh yang menjadi pengurus di organisasi intra.
Sementara GMNI UNY memiliki kader berjumlah lima puluh mahasiswa. Dari jumlah tersebut, hanya ada sepuluh kader GMNI yang menjadi pengurus di organisasi intrakampus.
Bagaimana Kader KAMMI Menjadi Militan
Salah satu faktor kesuksesan KAMMI dalam kontestasi politik kampus disebabkan para kadernya yang militan. Tentu hal tersebut tidak terjadi dengan sendirinya di setiap kader KAMMI. Dengan tujuan menciptakan kader Muslim Negarawan, menurut Viki, para kader KAMMI dari awal ditanamkan nilai-nilai dakwah dalam politik kampus.
Para kader KAMMI ditanamkan nilai-nilai keislaman yang “menyeluruh”. Di mana agama Islam bukan hanya dijadikan sebagai basis keimanan yang sifatnya individual dengan Tuhan-nya, tetapi juga sebagai basis ideologi dalam menjalani kehidupan. Tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain.
“Kalau di KAMMI, Islam bukan sekadar agama, tetapi pandangan hidup. Kalau kita bisa memperluas pandangan itu ke orang lain, itu bagian dari ibadah,” jelas Viki.
Hal senada dengan Viki juga diutarakan oleh Sri Widya Supena. Supena adalah salah satu aktivis KAMMI yang berhasil menjejakkan kepengurusannya sampai ke pusat. Dari menjadi ketua KAMMI UNY (2004), ketua KAMMI Kamda DIY (2006), ketua KAMMI DIY-Jateng (2008), dan puncaknya sampai di pengurus PP KAMMI (2010). Menurut Supena, menegakkan nilai-nilai keislaman adalah sebuah bentuk perjuangan bagi para kader KAMMI.
“Kenapa mereka [kader KAMMI] energinya sebegitu besar? Karena mereka merasa ini perjuangan, ini amar ma’ruf nahi munkar. Ada value yang diperjuangkan. Dakwah,” jelas Supena.
Untuk menciptakan kader yang militan dalam berdakwah melalui politik kampus, KAMMI memiliki sistem yang terstruktur, sistematis, dan masif. Lina menjelaskan ada beberapa kegiatan yang menjadi proker dari divisi PSDM untuk para kader KAMMI. Seperti monitoring, memantau dan mendata potensi dan minat tiap kader. Lalu ada Madrasah KAMMI atau mentoring, kepemanduan yang dibuat dalam kelompok-kelompok kecil, para aktivis Tarbiyah biasa menyebutnya dengan liqa’.
Dalam buku Ijtihad Membangun Basis Gerakan, Amin Sudarsono memaparkan bagaimana pentingnya metode liqa’ dalam kaderisasi KAMMI. Liqa’ menggunakan sistem sel. Dalam setiap sel, terdapat pembimbing yang disebut murabbi dan orang-orang yang dikader disebut mutarabbi. Jumlah mutarabbi dalam setiap sel berkisar antara lima hingga sepuluh. Sebuah sel akan membangun sel baru di bawahnya. Kemudian sel di bawahnya itu membentuk sel baru lagi, demikian seterusnya. Proses militanisasi ditanamkan dalam liqa’ yang tersebar di seluruh kampus di Indonesia.
Buku tersebut juga menjelaskan bahwa pengkaderan semacam liqa’ yang dilakukan KAMMI berasal dari metode gerakan Tarbiyah. Secara etimologis Tarbiyah berarti ‘pendidikan’. Kemudian di era 1980-an, dilansir dari disertasi Yon Machmudi yang berjudul Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (PKS), pendiri gerakan Harakah Tarbiyah, Hilmi Aminuddin, Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera 2005-2010 dan 2010-2015, menginisiasi untuk menjadikannya sebagai nama gerakan tersebut. Konsep Tarbiyah sebagai gerakan Islam berasal dari gagasan Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir.
KAMMI yang dipelopori oleh para aktivis Tarbiyah di Indonesia lahir di penghujung rezim Orde Baru. Tahun ’80-an menjadi tahun-tahun di mana gerakan Tarbiyah mulai berkembang di Indonesia, khususnya di masjid-masjid kampus dalam kelompok-kelompok kecil (liqa’). Kebijakan NKK/BKK yang dikeluarkan oleh Daoed Joesoef, menteri pendidikan pada waktu itu telah membantu perkembangan gerakan Tarbiyah di kampus-kampus.
Hadirnya NKK/BKK, berdasarkan penelitian Yon Machmudi, telah membungkam segala aktivitas politik di dalam kampus. Hal ini membuat organisasi-organisasi ekstra yang lahir sebelum KAMMI seperti HMI, PMII, GMNI, dan lainnya mendapatkan represivitas. Sementara gerakan Tarbiyah karena pada awalnya tidak berorientasi pada politik, tidak terkena represivitas dari kebijakan NKK/BKK tersebut.
Gerakan Tarbiyah juga bergerak di bawah tanah. Mereka memilih membuat kelompok-kelompok kecil di setiap masjid dan musala di kampus yang dikelola Lembaga Dakwah Kampus (LDK) sebagai jalan gerakan. Aktivitas tersebut mereka lakukan secara masif dan terstruktur sejak tahun ’80-an. Puncaknya adalah ketika Indonesia sedang mengalami krisis sosial, politik, dan ekonomi pada tahun 1998. Seusai Forum LDK di Malang, para aktivis Tarbiyah akhirnya membuat sebuah gerakan mahasiswa yang dinamakan KAMMI pada 29 Maret 1998 sebagai penyikapan terhadap kondisi Indonesia.
Selain menyebarkan nilai-nilai Islam, menurut Viki, tujuan awal KAMMI dibentuk adalah sebagai wadah demonstrasi bagi mahasiswa. “KAMMI pada awalnya dibentuk juga sebagai wadah demonstrasi mahasiswa. Jadi, wajar jika KAMMI sering melakukan demonstrasi,” jelas Viki.
Berdasarkan arsip koran Jakarta Post, 11 April 1998, yang dikutip artikel Tirto.id bertajuk “20 Tahun Reformasi: Yang Terjadi Sepanjang April 1998,” pada tanggal 10 April 1998, KAMMI menggelar demonstrasi besar-besaran di lapangan masjid Al-Azhar Jakarta dengan massa mencapai 10.000-an mahasiswa. Dalam demonstrasi perdana tersebut, KAMMI yang diketuai oleh Fahri Hamzah menyuarakan tuntutan penghapusan korupsi, kolusi, dan nepotisme di pemerintahan Soeharto.
Kampus Sebagai Kaderisasi Pemimpin yang Islami
Berkontestasi dalam politik kampus menjadi tujuan KAMMI untuk menunaikan agenda dan misinya. Menurut Supena, di zamannya agenda dan misi KAMMI adalah bagaimana mengisi kampus dengan nuansa-nuansa yang lebih religius. Hal tersebut sejalan dengan KAMMI yang ber-manhaj (metode) Tarbiyah, sebuah gerakan dalam upaya mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang islami.
Untuk mewujudkan visi tersebut, KAMMI memulainya dari dalam kampus, dengan menempati posisi-posisi strategis di organisasi intra. Berdasarkan disertasi Yon, keberhasilan KAMMI dalam menguasai kampus dengan menempati posisi-posisi strategis seperti BEM, DPM, dan Hima menginspirasi para aktivis Tarbiyah yang berada di parlemen untuk mengislamkan pemerintahan melalui jalan politik.
Hal tersebut dibuktikan oleh Yon dari alumni-alumni KAMMI yang menjadi politikus di PKS. Seperti, Fahri Hamzah, Andi Rachmat, Yusuf Supendi, Al-Muzzammil Yusuf, Zulkieflimansah, dan Mahfudz Siddiq, mereka adalah tokoh berpengaruh di PKS antara tahun 2005-2010. Kondisi demikan, menurut Yon, membuat KAMMI selalu di bawah bayang-bayang politik PKS. Sedangkan berdasarkan penelitian Ahmad Rizky yang bertajuk “Dinamika Islam Politik Pasca Orde Baru: kajian Psikoanalisis Lacanian atas Hubungan KAMMI dan PKS”, relasi antara PKS dan KAMMI selalu diwarnai “dilema independensi dan dependensi” yang tak pernah tuntas.
Kesuksesan KAMMI dalam menguasai BEM, DPM, dan Hima, menjadi bekal para alumninya untuk berkiprah di politik nasional. Dalam buku Ijtihad Membangun Basis Gerakan, Amin menjelaskan beberapa keuntungan dalam berpolitik kampus bagi KAMMI. Pertama, kesempatan menyuarakan kepentingan KAMMI akan terbuka lebar. Secara praktis, tujuan-tujuan dakwah akan tersampaikan lebih masif. Kedua, kebijakan kampus dapat diawasi, dikontrol, dan direkomendasikan. Ketiga, dapat menanamkan nilai-nilai kejujuran dan keamanan. Ketiga keuntungan tersebutlah yang menurut Amin, menjadikan nilai-nilai dakwah dapat terinternalisasi.
Oleh karena itu, KAMMI menjadikan politik kampus sebagai fokus gerakan. Menurut Viki, lebih mudah berdakwah di kampus ketika sudah menduduki posisi strategis di organisasi intra, dengan menyebarkan nilai-nilai keislaman ke mahasiswa lainnya.
Hal senada dengan Viki juga diutarakan oleh Supena. Menurutnya, menyebarkan nilai-nilai keislaman yang menyeluruh harus dilakukan oleh para kader KAMMI melalui organisasi intrakampus. “Kenapa kita [KAMMI] harus berjuang untuk memenangkan BEM? Karena kalau sudah menjadi BEM itu akan lebih banyak kebaikan, kemanfaatan,” jelas Supena.
Demi kelancaran berdakwah dalam politik kampus, KAMMI memperkuat sistem kaderisasinya dengan tujuan menciptakan para pemimpin yang islami. Hal tersebut diutarakan oleh Viki. Supena juga menambahkan bahwa selain islami, kader KAMMI harus berperan sebagai influencer dan mampu mempengaruhi mahasiswa lainnya. Hal tersebut bertujuan untuk memenangkan KAMMI dalam setiap pemilwa.
Para Oposisi KAMMI: Beragam Wacana dari Berbagai Organisasi Ekstra
Tujuan KAMMI dalam memperjuangkan nilai-nilai Islamis di dalam kampus mendapat tandingan dari organisasi ekstra lainnya. Ada PMII, HMI-MPO, HMI Dipo, dan GMNI. Untuk PMII, menurut Lutfan, ketua PMII UNY 2019, tujuan PMII berkontestasi dalam politik kampus untuk menyebarkan nilai-nilai aswaja ahnadiah atau Islam Nusantara. Menurutnya, Islam Nusantara merupakan konsep islam yang tawazun, berarti seimbang dan dekat dengan nilai-nilai keindonesiaan.
Kemudian, HMI-MPO dan Dipo juga memiliki tujuan dalam kontestasi politik kampus. Chandra, ketua HMI Dipo 2019 menjelaskan bahwa organisasi ekstranya ingin menyebarkan nilai-nilai keislaman yang berbasis pancasilais dan mengikuti pemerintah. Sedangkan HMI-MPO, menurut Damar, organisasi ekstranya ingin mengajak mahasiswa untuk menjadi muslim yang kritis, menjadikan Islam sebagai agama pembebasan dari segala bentuk penindasan.
Sementara GMNI ingin menanamkan nilai-nilai nasionalis dan marhaenismenya Soekarno kepada mahasiswa. GMNI berkontestasi dalam politik kampus sebagai cara untuk membuat mahasiswa lebih berintelektual dan tidak memahami nasionalisme secara sempit.
Hal tersebut dijelaskan oleh Rais, ketua GMNI UNY saat ini. “Kita berasaskan marhaenisme, suatu ide dan gagasan yang berangkat dari Soekarno. Marhaenisme adalah sebuah ideologi yang membela dan berpihak pada kaum proletar,” jelas Rais.
Perbedaan ideologi di tiap organisasi ternyata tidak serta-merta membuat kontestasi politik kampus berjalan dengan ketat. Dominasi KAMMI di Pemilwa setiap tahunnya, khususnya di tingkat universitas, menjadi alasannya. Hal tersebut dijelaskan oleh Supena, yang menurutnya juga, kondisi tersebut membuat politik kampus di UNY menjadi jenuh.
Hal serupa juga diutarakan oleh Rais, menurutnya kelompok Cipayung, GMNI, HMI-MPO/Dipo, dan PMII masih memiliki semangat dalam berkontestasi dalam politik kampus. Tetapi karena dominasi dan hegemoni KAMMI begitu besar, menurut Rais, sulit untuk kelompok Cipayung, khususnya GMNI untuk bersaing dengan KAMMI.
Contoh termutakhir dari koalisi Cipayung yang bersaing dengan KAMMI ada pada Pemilwa tahun 2018. Menurut Lutfan, koalisi Cipayung waktu itu mendukung pasangan Abeyasa-Rais dalam pemilwa tingkat universitas. Mereka bersaing dengan pasangan Agung-Jodi yang hanya didukung oleh KAMMI. Tetapi, keadaan sama seperti tahun-tahun sebelumnya, ketua BEM universitas tetap dimenangkan oleh wakil dari KAMMI, yaitu Agung-Jodi.
Kondisi demikian membuat Rais menjadi pesimis. Ia menganggap selama KAMMI masih mendominasi, kelompok Cipayung, khususnya GMNI tak akan mampu memenangkan politik kampus. “Berusaha memenangkan politik kampus tetap kita lakukan. Tetapi, mau bagaimana selama kampus masih dikuasai KAMMI, dan kita tidak memiliki ruang di sana. Ya tidak mungkin akan menang,” jelas Rais.
Reza Egis
Editor: Ikhsan Abdul Hakim
"politik" - Google Berita
April 27, 2020 at 06:37PM
https://ift.tt/3eYFXgY
Jalan Mulus KAMMI Memenangkan Politik Kampus - LPM EKSPRESI
"politik" - Google Berita
https://ift.tt/37GUyJP
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
No comments:
Post a Comment