Hetanews.com - Sejak Presiden Joko “Jokowi” Widodo dilantik Oktober lalu, kita telah melihat peningkatan fokus pada beberapa perkembangan utama dalam periode keduanya, serta apa artinya bagi Indonesia.
Ini muncul di tengah tren sehubungan dengan politik negara, termasuk kecemasan yang terus-menerus tentang keadaan demokrasi Indonesia dan beberapa prioritas Jokowi.
Untuk mendalami masalah ini, editor senior The Diplomat Prashanth Parameswaran mewawancarai Alex Arifianto, peneliti S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Program Indonesia, di Universitas Teknologi Nanyang, Singapura. Berikut merupakan versi wawancara yang telah diedit.
Dalam pidato pelantikannya, Jokowi menekankan, pada periode kedua dia akan lebih fokus pada hasil daripada proses. Namun, dia juga tidak menetapkan metrik atau indikator spesifik selain tujuan-tujuan umum, seperti memindahkan ibu kota negara.
Bagaimana seharusnya kita menilai kemajuan pada periode keduanya secara lebih umum di tahun-tahun mendatang?
Prioritas utama Jokowi tetap pada pembangunan infrastruktur: pembangunan jalan tol baru, kereta api, bandara, pembangkit listrik, dan lain-lain. Relokasi ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Penajam Paser, Kalimantan Timur, juga merupakan proyek infrastruktur utama di periode kedua Jokowi, dan pemerintah telah menjadwalkan penyelesaiannya pada 2024, tepat sebelum ia turun dari kursi kepresidenan Indonesia.
Prioritas Jokowi yang lain adalah investasi dalam sumber daya manusia dan pendidikan, jadi selama periodenya yang kedua kita akan mengharapkan lebih banyak investasi publik dalam pendidikan dan peningkatan keterampilan, terutama untuk penduduk berusia di bawah 35 tahun, yang merupakan seperempat dari populasi Indonesia.
Penunjukan Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan baru Indonesia adalah langkah pertama dari inisiatifnya di sektor pendidikan. Jokowi bertujuan mengubah tenaga kerja Indonesia agar fasih di bidang IT dan keahlian terkait untuk memungkinkan Indonesia mengambil keuntungan dari Revolusi Industri 4.0 dan menjadi ekonomi industri maju pada 2045.
Namun, karena Indonesia telah lama dikepung oleh masalah yang berkaitan dengan kualitas tenaga kerjanya, misalnya, tingkat pencapaian keterampilan membaca dan berhitung yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang besar lainnya, upaya untuk mentransformasi tenaga kerja Indonesia sehingga dapat menjadi seperti China atau India akan menjadi tantangan berat yang harus ditaklukkan pemerintah.
Mencapai tujuan pembangunan infrastruktur seperti jalan tol baru memang mudah, namun tetap akan ada tantangan untuk menarik investasi asing langsung, atau foreign direct investment (FDI), di infrastruktur vital, utilitas, teknologi informasi, dan sektor lainnya.
Indonesia masih menghadapi tantangan jangka panjang mulai dari lingkungan hukum yang tidak pasti, kurangnya kepemilikan lahan yang aman, tata kelola yang buruk, dan korupsi endemik, yang menjadikan Indonesia tidak menarik bagi FDI dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia, Thailand, atau Vietnam.

Foto: Reuters/Adi Weda
Jokowi telah menunjukkan kecenderungan yang semakin besar untuk memuaskan berbagai konstituen dan bahkan mengkooptasi lawan-lawannya, sebagaimana dibuktikan dari pengangkatan wakil presiden dan keputusannya untuk memasukkan Prabowo Subianto dalam kabinetnya. Bagaimana seharusnya kita memandang hal ini dalam konteks politik Indonesia?
Setiap pemerintahan pasca-Soeharto telah membentuk “koalisi pelangi” yang menggabungkan hampir semua partai politik besar dan politisi senior. Ini dilakukan sebagai strategi untuk meminimalkan kemungkinan oposisi di dalam parlemen dan partai-partai politik besar.
Hal ini juga dilakukan untuk memastikan semua partai besar mendapatkan bagian dari anggaran negara yang sangat besar. Strategi koalisi Jokowi (dengan menggandeng Prabowo di periode keduanya) hanya mengikuti kebiasaan yang sudah ada ini.
Selain Partai Gerindra milik Prabowo, partai-partai yang bersekutu dengan Jokowi sekarang mengendalikan sekitar 70 persen dari DPR. Satu-satunya oposisi efektif saat ini dipegang oleh partai-partai Islam kecil seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Masing-masing partai tersebut mengendalikan kurang dari 8 persen kursi DPR.
Ini berarti, sebagian besar agenda Jokowi untuk periode keduanya, misalnya Omnibus Law (yang mereformasi undang-undang pajak, ketenagakerjaan, dan lainnya), kemungkinan akan diloloskan oleh DPR dengan mudah dalam beberapa bulan mendatang.
Prestasi legislatif Jokowi kemungkinan akan tercapai dalam dua tahun ke depan (2020-2022), karena ia masih mendapat dukungan dari sebagian besar partai dan politisi penting hingga saat itu. Setelah itu, ia kemungkinan akan menjadi “presiden bebek lumpuh” (presiden yang ada di periode terakhirnya).
Kita mungkin akan melihat beberapa partai dan politisi elit yang saat ini berada dalam koalisinya mulai melepaskan diri setelah 2022, seiring mereka bersiap untuk mengusung atau mencalonkan calon presiden mereka sendiri pada 2024.
Salah satu area fokus utama Jokowi dalam pidato pelantikannya adalah ekonomi, yang terkait dengan tujuan Indonesia untuk lolos dari perangkap pendapatan menengah pada 2045 dan menjadi ekonomi maju.
Namun dia juga mencatat perlunya mengatasi tantangan sistemik, termasuk pemangkasan peraturan dan birokrasi, serta beberapa prioritas seperti disahkannya Omnibus Law. Apa yang Anda harapkan dari pengelolaan Jokowi pada ekonomi politik Indonesia di tahun-tahun mendatang?
Mereformasi birokrasi dan aturan di Indonesia, terutama yang berfokus pada pembebasan lahan, tenaga kerja, dan promosi bagi calon investor, tidak diragukan lagi merupakan tantangan terbesar Jokowi. Indonesia mempekerjakan sekitar 4,5 juta pegawai negeri di Jakarta dan juga pemerintah daerah.
Itu sangat tidak efisien, terlalu bengkak, bertentangan dengan inisiatif reformasi, dan sangat sarat korupsi. Tantangan utama Jokowi adalah: Dapatkah ia mereformasi dan mengubah birokrasi sehingga menjadi inovatif, profesional, dan responsif terhadap visinya untuk mengubah Indonesia menjadi bagian utama dari Revolusi Industri 4.0?
Reformasi pegawai negeri yang berhasil akan memperkuat tangan Jokowi dalam mempromosikan inisiatifnya yang lain, seperti reformasi peraturan dan mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja.
Jokowi juga perlu mereformasi sejumlah peraturan, banyak di antaranya dikeluarkan oleh pemerintah provinsi dan daerah, yang menghambat investasi asing baru di tingkat daerah.
Dengan melakukan hal itu, ia mungkin perlu mengubah Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 2001, yang memberikan kewenangan luas kepada pemerintah daerah untuk mengeluarkan peraturan yang mencakup sebagian besar layanan publik mulai dari pendidikan, perawatan kesehatan, dan izin investasi.
Dengan mengimplementasikan reformasi ini dan juga reformasi lainnya, Jokowi harus mengatasi banyak kepentingan pribadi, termasuk para pemimpin partai dan politisi di dalam “koalisi pelangi”-nya, yang telah lama mendapat manfaat dari status quo di sektor ekonomi dan mengeksploitasi kementerian yang mereka kuasai untuk keuntungan diri mereka sendiri dan kroni-kroninya.
Periode pertama Jokowi dan awal periode keduanya telah meningkatkan kekhawatiran terhadap demokrasi Indonesia, entah menyangkut masalah yang lebih spesifik seperti korupsi atau masalah yang lebih umum seperti kemunduran atau dekonsolidasi demokrasi.
Bagaimana pandangan Anda, dan tolok ukur apa yang harus kita perhatikan untuk menilai perkembangan ini dalam periode kedua Jokowi?
Tuduhan kemunduran atau dekonsolidasi demokrasi pada rezim Jokowi muncul baru-baru ini, sebelum pelantikan keduanya, ketika demonstrasi mahasiswa meletus di seluruh Indonesia, menentang revisi UU KPK dan RKUHP. Pemerintah dan DPR kemudian sepakat untuk menunda pengesahan RKUHP namun tetap mengesahkan UU KPK.
Para politisi senior telah menyatakan, DPR kemungkinan akan mempertimbangkan RKUHP itu lagi tahun ini. Jika DPR benar akan melanjutkan pembahasan amandemen, kita mungkin akan melihat mahasiswa kembali turun ke jalan dalam jumlah besar.
Namun, masih belum pasti apakah protes mereka akan menghentikan jalannya legislasi ini, mengingat partai koalisi Jokowi sekarang mengendalikan hampir 70 persen kursi legislatif.
Terakhir, Jokowi mengangkat banyak orang-orang TNI dan Polri ke jabatan kunci dalam pemerintahannya. Misalnya, mengangkat mantan Wakil Panglima TNI Fahlur Razi menjadi menteri agama baru, pensiunan Jenderal TNI Luhut Pandjaitan menjadi menteri koordinator maritim dan investasi.
Ia juga mengangkat Kapolri Tito Karnavian jadi menteri dalam negeri, Kalemdikpol Budi Gunawan jadi kepala Badan Intelijen Nasional. Dominasi pensiunan perwira dalam pemerintahan Jokowi ini bertanggung jawab atas tindakan “otoriter” pemerintah dalam satu tahun terakhir.
Misalnya, UU Sisnas Iptek yang disahkan pada Agustus 2019, yang sangat membatasi kegiatan para peneliti lokal dan asing di Indonesia.
Jika Jokowi terus memasukkan lebih banyak pensiunan TNI dan Polri ke dalam pemerintahannya selama periode kedua, dan banyak pensiunan jenderal yang akan terpilih dalam Pilkada 2020 mendatang, itu akan melanggengkan “militerisasi” di pemerintahan Jokowi, yang dapat mengarah pada dekonsolidasi demokrasi Indonesia.
Salah satu tren yang telah kita lihat dalam politik Indonesia selama beberapa tahun terakhir adalah meningkatnya peran Islamis yang konservatif. Bagaimana Anda melihat evolusi Islamisme dan Islam politik selama periode kedua Jokowi?
Islamis konservatif akan tetap menjadi kekuatan oposisi utama terhadap Jokowi selama periode keduanya, terutama “alumni 212”. Dua dari tiga partai yang tersisa di kubu oposisi, PKS dan PAN, didukung oleh kelompok Islam konservatif.
Beberapa Islamis konservatif telah berencana untuk maju dalam Pilkada 2020 sebagai calon gubernur, bupati, dan wali kota. Jika sejumlah besar dari mereka berhasil memenangkan Pilkada tahun ini, mereka akan memperkuat oposisi utama untuk melawan Jokowi.
Jokowi harus berhati-hati menghadapi tantangan Islamis konservatif untuk memastikan kebijakan pemerintahannya tidak membatasi hak konstitusional mereka. Beberapa tindakan yang diusulkan oleh para pejabatnya (seperti penyaringan konten yang mempromosikan “radikalisme” dan “ekstremisme,” dan sertifikasi Majelis Taklim), telah dianggap sebagai tindakan yang biasa digunakan oleh pemerintah Timur Tengah untuk menekan ancaman “Islamis garis keras”.
Langkah-langkah ini mungkin melanggar jaminan konstitusional kebebasan beragama dan kebebasan berserikat yang diabadikan dalam UUD 1945.
Sumber: matamatapolitik.com
"politik" - Google Berita
March 20, 2020 at 11:34PM
https://ift.tt/2Unhk4o
Menelaah Politik Indonesia Selama Periode Kedua Jokowi - Heta News
"politik" - Google Berita
https://ift.tt/37GUyJP
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
No comments:
Post a Comment