Rechercher dans ce blog

Saturday, April 25, 2020

Perjuangan Sosial dan Politik Pandemi - Suara Pembaruan

Oleh:Yanto Bashri*

Pada era 1960-an Clifford Geertz untuk pertama kali mengenalkan istilah santri, abangan, dan priyayi, yang mendapat respons luas mulai peneliti hingga politisi. Dalam karya penelitannya, The Religion of Java, Geertz menjelaskan ketiga varian muslim tersebut merupakan ekspresi keberagamaan sebagai kecenderungan kebudayaan masyarakat Jawa.

Tiga varian masyarakat Jawa ala Geertz sederhananya dapat juga dijelaskan dengan struktur sosial masyarakat yang berbeda: desa, pasar, dan birokrasi pemerintah, tiga lapisan yang dinggap memiliki perbedaan dalam memahami agama melalui penekanan-pekenanan yang khas dalam religiositasnya.

Perbedaan ini dipengaruhi oleh sejarah kebudayaan dan lingkungan baik dalam kepercayaan agama, preferensi etnis, dan ideologi. Misalnya, abangan dengan tradisi petaninya, santri dengan pengalaman berdagangnya di pasar, dan priayi dengan sejarah birokrasi aristokratiknya.

Dalam pandangan Geertz, abangan menekankan kepercayaannya pada tradisi lokal dan unsur ritual sebagai sistem yang berkembang di perdesaan. Kelompok ini ditempatkan sebagai masyarakat kurang memiliki pengetahuan agama, bahkan dianggap muslim awam. Islam abangan merupakan representasi perilaku masyarakat desa, tetapi mengaku muslim karena dianggap tidak konsisten dalam menjalankan agama.

Santri menekankan kepercayaannya kepada unsur-unsur Islam. Golongan ini disebut taat dalam beragama. Penyebutan ini karena santri dinilai sebagai generasi muslim yang dapat meneruskan estafet kepemimpinan kiai baik dalam memimpin pesantren maupun masyarakat.

Sementara priayi ditempatkan sebagai elite atau golongan bangsawan, yakni kelompok masyarakat yang menduduki posisi penting di pemerintahan. Kelompok priayi akar-akarnya terletak pada keraton Hindu Jawa yang hancur akibat kolonialisme, tetapi masih memelihara dan mengembangkan etika keraton dalam tutur bahasa halus, kesenian, dan mistik.

Tesis ini tidak hanya berdampak pada ketertarikan para peneliti dan akademisi untuk meneliti kebudayaan Jawa, tetapi yang terpenting sejak lahirnya tiga varian agama masyarakat Jawa Geertz menciptakan perbedaan kelas sosial politik semakin tajam di masyarakat. Hampir empat dekade tiga varian kelompok masyarakat tersebut berebut pengaruh dalam pentas politik nasional.

Pertarungan politik dan revolusi budaya di antara ketiga varian tersebut dirasakan sejak Orde Baru memegang kekuasaan yang berusaha menyingkirkan kelompok Islam santri dalam pentas politik nasional satu sisi, dan mengakomodasi kelompok Islam abangan dan Islam priayi dalam gerbong kekuasaan di sisi lain. Penyingkiran tersebut terjadi dengan menempatkan Islam santri sebagai kelompok yang tidak cocok dengan proyek “politik pembangunan” yang digagas awal pemerintahan Orde Baru.

Perjuangan kelas (class struggle) Islam santri ini dilakukan dengan pendekatan kultural yang memediasi antara berbagai kepentingan, sebaliknya menghidari pendekatan politik konfrontatif dengan kekuasaan. Pilihan ini merupakan watak komunal Islam santri yang tidak menyukai konflik sebagai solusi dalam menyelesaikan persoalan sosial.

Tipikal ini tercermin dalam gagasan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dipopulerkannya sejak 1970-an tentang Islam sebagai etika sosial. Frame perjuangan kelas ala Gus Dur ini merupakan penerjemahan ulang--atau lebih tepat perluasan--dari “fikih sosial” KH Sahal Mahfudz yang menekankan agama untuk hadir dalam menjaga solidaritas sosial dan agama sebagai etika kemasyarakatan yang menghindari pemenangan untuk kepentingan pribadi, individual, atau kelompok.

Namun, perjuangan kultural ini tidak cukup membangun kesadaran masyarakat dan negara untuk berada dalam suatu struktur sosial berasaskan kemaslahatan bersama. Kekuasaan tetap menempatkan Islam santri yang secara pejorative ditempatkan sebagai kelompok yang tidak paralel untuk diakomodasi dalam politik nasional. Karena itu, gagasan Islam etika sosial Gus Dur kemudian diperluas perjuangannya dengan memberikan penekanan pada wilayah politik. Hal ini terlihat pada dua gagasan besar Gus Dur: usaha kembali khittah 1926 pada tahun 1984 dan perjuangan politik dengan pendirian partai politik baru pada 1998.

Perjuangan ini menggarisbawahi kepada warga NU bagaimana jadi warga negara yang baik dan benar. Gus Dur memberi tekanan penting bahwa seorang beragama harus mampu mengubah tatanan sosial jadi lebih baik, kemakmuran yang merata, keadilan bagi semua lapisan masyarakat, dan seterusnya melalui perjuangan sosial dan politik.

Dalam satu dekade terakhir perjuangan kelas ala Gus Dur dapat dilihat. Upayanya menarik gerbong Islam santri yang selama hampir empat dekade termarginalkan dalam panggung politik nasional sebagai dampak tesis Geertz di atas telah membentuk tatanan sosial baru. Sejumlah tokoh Islam santri telah jadi elite politik baik di tingkat pusat, provinsi dan kota menikmati perjuangan Gus Dur, KH Sahal Mahfudz, dan lainnya. Kondisi ini mengingatkan penulis pada era 1940-an dan 1950-an.

Kini, mereka tidak hanya dituntut untuk mewujudkan tatanan sosial lebih adil, lebih makmur dan seterusnya, tetapi tidak kalah pentingnya juga di tengah wabah Covid 19 membangun aliansi dengan kelompok nasional lain untuk memperhatikan rakyat yang mulai kehilangan pekerjaan baik dalam bentuk bantuan sosial maupun menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat memasuki Ramadan dan menjelang Idulfitri.

*Wakil Sekretaris LP Ma’arif NU PBNU

Let's block ads! (Why?)



"politik" - Google Berita
April 26, 2020 at 09:54AM
https://ift.tt/2S7zwyl

Perjuangan Sosial dan Politik Pandemi - Suara Pembaruan
"politik" - Google Berita
https://ift.tt/37GUyJP
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update

No comments:

Post a Comment

Search

Featured Post

Granblue Fantasy: Relink's Demo Will Make a Believer Out of You - Kotaku

depolitikblog.blogspot.com Before multiple friends of mine went out of their way to sing the praises of Granblue Fantasy: Relink to ...

Postingan Populer