Rechercher dans ce blog

Saturday, February 8, 2020

Takziyah Politik: 2 X 2 = Asal Bukan NU - TIMES Indonesia

TIMESINDONESIA, MALANGSEBAGAI bukti bahwa dunia ini sementara, apalagi politik praktis, hidup seringkali mengingatkan kita akan datangnya kematian. Memetik pelajaran dari kematian yang paling pas adalah pada momentum takziyah atau melayat. 

Sebagai tradisi dan sekaligus ajaran Sang Nabi yang lazimnya banyak pelayat dan tokoh memberi kesaksian terkait darma bakti almarhum selama masih hidup juga membesarkan hati keluarga yang ditinggal. Namun demikian, suasana duka mendiang Gus Sholah (cucu pendiri NU) sedikit dicemari dengan takziyah politik oleh oknum budayawan yang menyatakan bahwa keinginan Gus Solah sebelum meninggal adalah agar Muktamar NU bebas politik uang. Ini mengingatkan kita pada takziyah politik seorang capres ke rumah duka mendiang ibu Ani Yudhoyono tahun lalu. Suasana berkabung tetiba muspra. 

Tulisan ini tidak hendak menyoal politik uang, tapi tentu kita sebagai Nahdliyyin sangat menyesalkan pernyataan tersebut. Bukan kali pertama oknum ini bikin pernyataan halu dan ngawur, sebelumnya ia menuding NU menerima uang 1,5 T dari planet Neptunus. Bahkan, naik dan turunnya Gus Dur menjadi presiden RI adalah semata karena restunya. Padahal, kita tahu dia bukan tokoh NU dan bukan siapa-siapa di NU. 

Memang, menjelang Muktamar Lampung, para tempurung jahat yang ingin merusak NU itu tak pernah berhenti berinovasi dan bermanuver, tak jarang meraka menggunakan jasa (maaf) oknum ulama, politisi, seniman, budayawan, pemilik media, dan tentu saja para makelar. Politik "belah bambu" semacam ini bukan tidak kita sadari, tapi sedemikian gencar mereka mencari celah untuk provokasi sana-sini. Wal hasil, swing-nahdliyyin yang masih amatir dan skeptis, terombang-ambing antara harapan dan putus asa, lantas memilih manjadi pemandu sorak NU garis letoy, kangen NKRI bersyariah dan khilafah ala HT dan ISIS.

Apabila dicerdasi sampai ke akar filosofi, kebanyakan warganet sangat jauh dari rasionalitas. Hal ini juga telah jamak diketahui meski enggan disadari. Bukti nyata di depan hidung kita: Matematika menyebut dua kali dua sama dengan empat, Sosiologi menjawab dua kali dua semoga empat, sementara itu Ekonomi memprediksi dua kali dua untung-ruginya mendekati empat, tak mau ketinggalan politik mengkampanyekan bahwa dua kali dua adalah demo berjilid-jilid sampai empat kali, nun jauh di sana ilmu Agama menjawab dua kali dua dengan menunggu fatwa oknum MUI dan para pengawal fatwanya yang nunggu giliran kawin hingga empat. Jomblo? Mana sempat!

Malah, kabar terbaru, setelah Nahdlatul Ulama  kian mengibarkan sarung dengan ratusan perguruan tinggi, rumah sakit, tiga puluh ribu pesantren, memiliki cabang Istimewa di 194 negara dengan anggota lebih dari seratus juta, tiba-tiba golongan sakit hati di Negeri ini meneriakkan dua kali dua sama dengan asal bukan NU. Apa sebab? NU adalah ancaman terbesar bagi segala rencana jahat mereka untuk merusak dan mengacak-acak NKRI.

Demikianlah fastabiqul proyek fastabiqul politik. Anda tahu, ciri utama keberhasilan propaganda, ujaran kebencian, hoaks dan disinformasi berita, juga kampanye hitam adalah jika konten propaganda itu viral dan menjadi topik perbincangan di ruang-ruang publik, terutama medsos. Itu artinya—mereka yang anti NU, otomatis anti NKRI; juga yang pura-pura NU, otomatis pura-pura NKRI; atau boleh jadi yang kecewa dengan hasil muktamar NU dan lalu melakukan penggembosan terhadap NU dari dalam—dapat dengan mudah kita ketahui melalui akun-akun medsos mereka yang cenderung latah dan jauh dari sikap kritis. Memang, politik sentimen tidak bisa dihadapi dengan ilmu. Serahkan saja ke Sunda Empire, beres! 

Sudah barang tentu, takziyah politik oknum budayawan ini akan menghangatkan jagad medsos. Gayung bersambut, medsos merupakan ladang subur bagi para sotoyis tuna pustaka. Karena acuan kebenaran adalah like, share dan subscribe, matilah kepakaran, dangkallah kebenaran dan banal pula kearifan. 

Takziyah politik ini akan digoreng lagi dan lagi dengan bumbu-bumbu dan kepentingan politik yang lebih besar, ditumis dengan aroma dan saus agama yang penuh intrik, direbus bersama kaldu sentimen etika, dipanggang dengan bara isu komunis, liberal, syiah, yahudi, asing dan aseng, lantas disajikan di mulut-mulut mayoritas awam sebagai menu favorit, tengik tapi nampak asyik, bikin ketagihan meski menyesatkan. Kebanyakan warganet mengira bahwa medsos adalah realitas, padahal ia hiper-realistis. Seperti kata pakde Jean Baudrillard (1929-2007) 

Lagi-lagi para tempurung jahat itu lupa bahwa para Kiai NU itu bidan-bidan yang membantu lahirnya NKRI, para Kiai Nusantara itu pawang bagi setiap pengacau dan perusak Ibu Pertiwi, pondok pesantren adalah benteng Tanah Air dan para santri adalah penjaga keutuhan bangsa, karena hubbul wathon minal iman.

Sebagai pawang, tentu saja para Kiai NU bijaksana dan tidak grusa-grusu plus ngamukan seperti pemuja khilafah, para jidatis dan cingkrangis. Begitu pawang datang, binatang-binatang buas tanang dan terdiam. Dan, pawang itu sebagaimana disampaikan RMP Sosrokartono (1877-1952): sugih tanpo bondo (kaya tanpa harta), digdoyo tanpo aji (tak terkalahkan meski tanpa senjata), nglurug tanpo bolo (menyerbu tanpa pasukan), menang tanpo ngasoraké (menang tanpa jumawa dan merendahkan), trimah mawi pasrah (menerima lagi pasrah), suwung pamrih tebih ajrih (tanpa pamrih dan tidak takut), langgeng tan ono susah tan ono bungah (tetap tenang dalam suka-duka) serta anteng mantheng sugeng jeneng (tidak gegabah agar nama baik tetap terjaga). 

Nah, kamu sudah tahu kan, Sayang, apa yang aku mau darimu? 

Alfatehah untuk Gus Sholah dan para Kiai NU...

*) Penulis, Ach Dhofir Zuhry

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id

Let's block ads! (Why?)



"politik" - Google Berita
February 08, 2020 at 01:34PM
https://ift.tt/2SpACoC

Takziyah Politik: 2 X 2 = Asal Bukan NU - TIMES Indonesia
"politik" - Google Berita
https://ift.tt/37GUyJP
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update

No comments:

Post a Comment

Search

Featured Post

Granblue Fantasy: Relink's Demo Will Make a Believer Out of You - Kotaku

depolitikblog.blogspot.com Before multiple friends of mine went out of their way to sing the praises of Granblue Fantasy: Relink to ...

Postingan Populer